Kata Mitha aku seharusnya mudah mendapat pacar dengan paras cantikku
dan pembawaanku yang unik menarik. Namun, kenyataannya aku belum pernah
menjalin kisah cinta serius, kecuali kisah cinta monyet beberapa kali
selama sekolah. Cinta semusim yang hanya bertahan beberapa waktu. Cepat
hangat dan redup seketika tak berbekas.
Mitha seharusnya tidak berkata seperti itu tentang aku, karena kisah
cintanya lebih payah daripada aku. Ia bahkan belum pernah sama sekali
merajut cinta dengan arjuna manapun walaupun ia seperti peri. Namun,
akhir-akhir ini aku cemas karena ada seorang pria yang sepertinya
terobsesi dengan Mitha. Dan aku sadar, aku iri dengan Mitha. Meski ia
berkata kalau hubungan mereka lebih cocok sebagai sahabat namun aku tahu
si pria tersebut mengharapkan lebih. Dan ia memang tampan dengan wajah
dan penampilan yang benar-benar ‘laki’. Coba kalau aku jadi Mitha, aku
pasti menginginkan Deni.Hemmm kenyataannya ia tidak tertarik padaku
hanya ke Mitha.
Lalu ketika hujan semuanya berbeda. Ketika pulang kantor aku ingin
segera ke seberang menuju sebuah pusat perbelanjaan namun tiba-tiba
gerimis mengguyur, semakin deras sehingga menghalangi niatku untuk
menyeberang dan aku mencoba menunggu di halte. Hujannya tidak kunjung
berhenti dan ini membuatku kesal karena lalai membawa payung mungilku.
Lalu ada seorang pria menyentuh lenganku perlahan. Ia berkata sopan
jika aku boleh meminjam payungnya. Rupanya ia memperhatikan
kegelisahanku. Aku sendiri keheranan karena aku tidak mengenalnya. “Lalu
bagaimana caranya aku mengembalikan payungmu?” ujarku. “Besok pada jam
yang sama aku sepertinya di sekitar sini,” jawabnya sambil mengulurkan
payungnya yang kuterima dengan senang.Aku melambaikan tangan dan ia lalu
masuk ke mobil yang baru datang dan dikendarai rekannya.
Keesokan harinya aku berjumpa lagi dengannya. Ia tertawa ketika
melihatku. Saat itulah aku memperhatikan penolongku itu. Dia tampan
dengan cara yang berbeda, mungkin bukan laki-laki yang bisa disebut
tampan secara universal. Ia memiliki senyum simpul yang enak dilihat dan
mata yang teduh. Adrian namanya.
Ia memberiku kartu nama yang hanya berisikan nama panggilan, alamat
email dan pekerjaannya. “Desainer? Kamu desainer baju?” ujarku. Waduhh
jangan-jangan dia gay karena kebanyakan laki-laki ganteng dan desainer
biasanya ketularan jadi homo. Dia tertawa tertahan, wajahnya makin
tampan. Ia mengangguk. “Kalau itu sih bisa juga, namun jarang yang
order. Desain apa saja, ilustrasi buku, desain produk, juga desain
bangunan”. Aku merasa lega, kayaknya bukan jenis perancang baju yang
homo, bukan diskreditkan kaum gay cuma sayang kalau cakep-cakep gini..
cuma..hummm kenapa aku berpikiran seperti itu. Kalau normal terus punya
pacar kan sama aja.
Pembicaraan kami terputus karena ia harus segera ke bandara. Wah aku
belum tahu dimana ia tinggal. Dan, kenapa sih pria ini tidak
mencantumkan nama kantor dan alamatnya di kartu namanya. Huh sok
misterius!
Anehnya, aku penasaran dengan pria ini. Dia tidak mengirimi email
ataupun sms padahal aku juga memberinya kartu nama. Menahan gengsi, aku
beranikan diri untuk mengiriminya email menanyakan tentang seputar
pekerjaannya. Lama tidak terjawab, aku menemukan alamat web di kartu
namanya. Ada beberapa contoh desainnya. Desain untuk beberapa produk
sekilas sederhana namun terkesan elegan. Namun, untuk contoh ilustrasi
buku, pakaian, dan interior rumah aku menemukan sebuah dongeng. Dia
menghadirkan cerita dalam desainnya. Cerita yang berbeda, ada kisah
dongeng yang indah, ada juga yang surealis dan cenderung menakutkan.
Kami hanya berkomunikasi melalui email dan pembicaraan kami
singkat-singkat. Aku berhasil membuatnya lebih akrab dengan menanyakan
ide-ide ilustrasinya, namun ia hanya menjawab dengan sebuah gambar yang
menunjukkan itu rahasia. Huuh cowok jual mahal, dengusku kesal.
Kami berjumpa beberapa kali dan ia hanya menunjukkan sikap sebagai
teman sehingga aku pun muak. Ada apa sih dengan diriku ini? Aku pun
menyerah. Laki-laki terlalu jual mahal mungkin memang bermasalah, hiburku.
Aku tidak lagi berkomunikasi dengannya hingga bertemu dengannya di
sebuah taman bersama seorang wanita. Ia menyapaku dan mengenalkanku
dengan wanita itu yang ia sebut saudaranya. Aku tidak menemukan
kemiripan di antara mereka dan anehnya hal ini membuatku marah. Aku
bergegas pergi meninggalkan mereka dengan alasan-alasan yang kubuat.
Ini aneh, aku benci kondisi jiwaku seperti ini. Aku menangis
tersedu-sedu. Aku larikan dengan minum banyak kopi dan donat, namun
perasaan sedih ini tidak kunjung sembuh. Jika ingat Adrian, aku merasa
perasaanku hampa. Aku ingin derita ini segera berakhir. Aku bertanya
pada diriku, apakah aku patah hati? Benarkah???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar