--seringkali kita baru sadar betapa berartinya seseorang, justru
ketika seseorang itu telah pergi meningggalkan kita. kamu tahu kenapa?
Karena
patah hati, maka Ryan tidak bisa tidur. Gelisah terbaring di tempat
tidur, bergulingan ke kanan dan ke kiri, serta menaikkan kakinya ke atas
tembok yang catnya sudah luntur. Teman satu kamarnya yang baik hati
dan tidak sombong itu menjadi terganggu. Tapi ia paham betul apa yang
sedang terjadi sebenarnya sebab tadi siang Ryan curhat habis habisan
tentang apa yang sebenarnya terjadi padanya itu.
“Udah, enggak usah di pikirin.”
“Maunya sih gitu, tapi enggak bisa.”
“Ya berusaha dong.”
“Udah,
tapi tetep enggak bisa. Elo bayangin aja, tiap waktu gue ingat sama
dia. Waktu makan gue ingat, waktu naik angkot gue ingat sama dia, waktu
mau jemur baju juga ingat dia. Pokoknya gue ingat dia terus deh.”
“Busyet,
kaya lagu aja. Tapi, pas elo ke toilet, ingat dia juga?” Temannya Ryan
yang baik hati dan tidak sombong itu menggeliat manja.
“Ya iyalah.”
“Idih, jorok banget sih!”
“Yang jorok tuh elo, nanya kok begitu.”
Temannya
Ryan lalu meletakkan buku yang sedang ia baca di atas kasur, dan
beringsut ke depan Ryan, sambil senyum senyum bikin Ryan bertanya tanya.
“Kenapa sih, senyam senyum sendiri?” Tanya Ryan curiga.
“Yan, gue tahu caranya biar elo berhenti mikirin mantan elo.”
“Gimana?”
“Hipnotis.”
Ryan kaget. “Emang elo bisa?”
Temannya Ryan mengangguk anggukkan kepalanya sambil menepuk dadanya berulang kali.
“Bisa dong. Gimana, mau engga?”
Wajah
temannya Ryan nampak berseri seri, sebab ia telah menemukan orang yang
tepat buat jadi kelinci percobaan, setelah hampir satu bulan ia belajar
ilmu hipnotis melalui buku.
“Terserah lo deh, pokoknya gue bisa ngelupain dia.”
Temannya
Ryan segera mengambil sebuah benda bulat pipih dengan tali menggantung
di tengah tengahnya. Sebuah yoyo dari plastik berwarna biru cerah. Lalu
yoyo itu ia goyang goyangkan di depan mukanya Ryan.
“Sory Yan, gue enggak punya jam tangan yang ada rantainya, jadi pake ini aja yah, gue boleh minjem punya si Otong.”
Ryan
nurut saja apa kata temannya itu. Yang penting dia lupa sama itu
perempuan. Di tatapnya yoyo yang bergoyang ke kiri dan ke kanan itu
tanpa berkedip, dan mengikuti temannya yang bisik bisik.
“Lupakan..lupakan..”
Dan Ryan pun mengikutinya perlahan.
“Lupakan..lupakan..”
Ryan
mulai mengantuk. Matanya sudah mulai menutup, dan temannya terseyum
puas, berharap percobaan pertamanya sukses, dan ia akan semakin percaya
diri menghipnotis yang lainnya. Terbayang dikepalanya bahwa setelah Ryan
ia akan menghipnotis ibu kost biar disangka sudah bayar kost kostan.
“Lupakan.. lupakan..”
“Lupakan.. lupakan..”
Jangan pernah lupakan aku..jangan hilangkan diriku…
Ryan
kaget, temannya lebih kaget. Suara Giring Nidji melengking dengan deras
dari radio dua band di kamar sebelah. Setan alas! Ryan tidak jadi tidur
dan tentu saja masih ingat sama itu perempuan.
“Ah, rese banget sih.” Kata temannya Ryan sewot bukan main. “Udah ah, Yan ikut gue yuk!”
“Kemana?”
“Naik pohon.”
---
Pohon
itu satu satunya pohon besar di kost kost-an mereka. Pohon mangga,
dengan cabangnya yang besar terserak di batangnya. Tidak ada satu orang
pun penghuni kost kostan itu yang suka naik ke atasnya, kecuali Ryan dan
temannya itu. Mereka suka duduk duduk di atas dua cabang pohon yang
paling besar yang berada di tengah, kadang kadang sambil membawa makanan
kecil, sambil ngomong apa saja yang bisa diomongin.
“Yan,” Kata temannya Ryan setelah duduk di atas pohon mangga itu. “di sini udaranya sejuk yah, enggak kaya di bawah. Panas.!”
“Iya,
bro sejuk.” Ryan pun menarik nafas panjang, dan baru setengah jalan
ketika tiba tiba ia terbatuk batuk sambil menutup lubang hidungnya
dengan punggung tangan.
“Lo kentut yah!”
“Iya tadi. Emang bau Yan?”
“Wedhus gibas. Bau tahu, elo abis makan apaan sih. Makan orok bangkai yah!”
Temannya
Ryan hanya tertawa lalu minta maaf sambil berjanji tidak akan kentut
lagi kecuali kepepet. Ryan ngomel ngomel sampai bau itu lenyap terbawa
angin malam.
“Bro, gue kangen nih sama dia.” Kata Ryan tiba tiba.
”Telpon dong. Elo rayu rayu, trus ajak balikan lagi.”
“Kalau dia engga mau?”
”Ya, ikhlasin aja, cari yang lain.”
“Gue
udah ikhlas bro, cuma yang masih ngeganjel di hati gue nih, kenapa baru
sekarang gue ngerasain kehilangan dia banget. Kalau tahu gini, gue mau
deh ngelakuin apa saja asal gue masih bisa sama dia. Gue nyesel bro.”
“Baru
deh nyesel. Kemarin kemarin kemana aja. Tapi nyantai aja Yan, engga
cuma elo kok yang begitu, semua orang juga gitu. Elo pengen tahu, kenapa
bisa gitu. Kenapa elo baru nyadar bahwa dia berarti buat elo setelah
dia sudah pergi dari hidup elo?”
Dalam remang cahaya lampu bohlam lima belas watt yang menempel di sudut tembok, Ryan mengangguk perlahan. “Kenapa?”
“Supaya
elo lebih bersyukur. Supaya elo menjaga apa yang pun yang telah
diberikan Tuhan sama elo. Entah itu pacar elo, teman elo, bahkan hewan
peliharaan elo. Supaya elo ngerti dan sadar bahwa segala hal yang hadir
dalam kehidupan lo itu adalah berharga dan penting, dan tugas elo
menjamin segala hal itu berjalan dengan semestinya, yaitu tetap berharga
dan penting.”
Temannya Ryan mengatakan semua itu, yang rada susah
dimengerti, dengan suara berapi api di depan Ryan, dan baru menyadari
bahwa sedari tadi Ryan terlihat mengusapkan tangan ke mata dan pipinya,
membuat temannya jadi sedikit kaget, menyangka Ryan menangis karena
terharu mendengar apa yang barusan dikatakannya.
“Udah Yan, engga usah nangis gitu.”
”Nangis kepala elo peyang!! Elo ngomong muncrat tahu!!”
“Oh, muncrat toh. Sory Yan, elo sih bukannya ngomong dari tadi.”
Ryan
agak sewot juga, sebab sudah dua kali dia dibikin dongkol sama temannya
itu. Ingin rasanya ia menonjok muka temannya itu, terus di injek injek
sampai gepeng. Tapi tentu saja Ryan tidak mungkin melakukan hal itu.
---
Lampu
lima belas watt yang menempel di sudut tembok tiba tiba mati, sengaja
di matikan oleh ibu kost sebab hari sudah terlalu malam, yang
menyebabkan keadaan tempat itu jadi semakin gelap.
“Bro, turun yuk. Gelap nih.”
“Ogah, ntar dulu. Di bawah masih panas Yan.”
“Ya udah, tapi elo jangan ngeraba raba ya.”
“Idih!”
Lalu
sebuah keheningan tercipta. Ryan sibuk memikirkan mantannya, sedang apa
sekarang, apa sudah makan, baju yang di kasih ke dia apa masih di
pakai, atau udah di buang, atau di kasih pembantu atau di bikin keset,
dan pertanyaan pertanyaan yang lainnya sementara temannya sibuk
menikmati hembusan sejuk angin malam, sampai sebuah suara datang dari
mulut Ryan.
“Bro, ngapain sih elo ngeraba tangan gue?”
“Apan sih! Nih, tangan gue!.” Protes temannya sambil mengarahkan kedua tangannya ke arah Ryan.
“Lah, yang lagi gerak gerak di tangan gue apa dong?”
Ryan dan temannya berpandangan. “Jangan jangan ulet bulu Yan.”
Denger
kata ulet bulu, Ryan yang alergi banget sama itu binatang segera
histeris tidak karuan, mengibaskan tangannya berkali kali, juga
menendang nendang kaki, dan hilang keseimbangan, dan jatuhlah ia ke
bawah menimbulkan bunyi gedebug yang cukup keras.
Temannya dengan panik menyusul turun, takut terjadi apa apa sama Ryan.
“Yan, elo engga apa apa?”
Tapi Ryan diam saja, hanya duduk di atas tanah di pegangi oleh temannya. “Yan, ngomong Yan!”
“Gue siapa. Elo siapa, terus gue ada dimana?”
Mampuslah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar